Sepenggal Kisah di Desa Benteng Paremba
Oleh : Afif Natsir
Oleh : Afif Natsir
Hari ini cukup cerah, matahari tersenyum dari balik celah awan pagi, sementara kicau burung bersenandung merdu dari balik ranting pohon dan rimbun dedaunan. Suasana di desa kecil itu selalu dihiasi dengan panorama alam yang indah dan masih terkesan alami, ada riak air sungai galang-galang yang jernih dan berkilau saat diterpa sinar pagi, hamparan buttu (gunung) bannang yang membentang di sebelah barat desa melukiskan pemandangan hijau nan alami, bukan hanya itu, penduduk desa yg ramah seakan membuat siapapun akan betah bermukim di desa terpencil itu
Hesty, seorang gadis remaja terlihat masih berdiri
mematung memandangi bangunan tua dengan warna yang terlihat telah memudar, ada
sedikit cat yang sudah mengelupas sehingga menampakkan warna putih asli
bangunan itu. Bangunan yang dibangun lebih dari sepuluh tahun yang lalu itu
terlihat masih kokoh namun agak terpisah dari rumah penduduk setempat, “ PUSTU
BENTENG PAREMBA “ Tulisan itu cukup besar dan jelas sehingga dari jarak yang
cukup jauh dapat dibaca oleh remaja belia berambut sebahu yang
masih berdiri tanpa bergeming.
Hesty, Bidan Desa yang baru ditempatkan di Desa itu, sengaja datang untuk
melihat pustu dimana dia akan mengabdikan ilmunya dan menunjukkan
kredibilitasnya sebagai bidan yang siap memberikan pertolongan kepada siapapun
yang membutuhkan keahliannya.
Perlahan hesty melangkah dengan langkah sedikit ragu, ada rasa ciut yang
sempat bergelayut dalam dadanya saat menyaksikan suasana desa yg akan
ditinggalinya ,sepi dan nyaris tanpa orang-orang. Dalam situasi itu nyaris saja
dia berteriak memanggil mama… “ yah.. andai ada seseorang yg bisa menemaniku disini “ gumam hesti dalam hati.
Hesty merogoh tas warna pink yang menggantung di sisi kirinya seraya meraih
handphone black berry yang baru dikirimkan oleh oom salim dari arab Saudi
sebulan yang lalu . “ ooh… tuhan.. ternyata di sini tak ada telkomsel, indosat,
mentari dsb. Tertulis jelas di layar “ Darurat
“ bagaimana aku bisa berhubungan dengan Ardy, Andy, Eko, dan yang lain? Mampus
dech aq “ umpat hesti seraya menaruh kembali handphonnya ke dalam tas.
***
Hesty mulai melihat segenap ruangan dalam gedung itu, Hanya ada kursi kayu, deretan lemari yang berisi obat-obat generik, meja kecil yang di atasnya
ada sebuah sphygmomanometer lengkap dengan stetoskop yg biasa digunakan untuk mengukur tekanan
darah pasien, dan sebuah boneka
lusuh di atas salah satu lemari obat yag tepat menghadap ke jendela. di sudut
kanan tampak sebuah kamar yang berukuran sedikit lebih besar dibanding ruangan
yang lain, di dalamnya ada sebuah tempat tidur dan lemari pakaian yang mulai
rapuh dikerubuti rayap. hesty hendak membaringkan badan tuk mengusir lelah
setelah perjalanan jauh dari Kota Makassar, namun belum sempat punggungnya
menyapu kasur, tiba-tiba ada suara ketukan pintu dari luar” tok…tok.. Assalamu Alaikum..”
sejurus kemudian hesti beranjak dari tempatnya hendak membuka pintu, dari balik
pintu hesti melihat sesosok lelaki tegap dengan jaket hitam sembari melempar
senyum ke arahnya.” Perkenalkan nama saya “gasang” orang biasa memangil saya
“igas” tukas lelaki tersebut sembari mengulurkan tangan hendak bersalaman.”
Oh..yach.. nama saya hesty, saya bidan baru di desa ini “ jawab hesty singkat
seraya menyambut uluran tangan lelaki yang baru dikenalnya. ada desiran aneh
yang tiba-tiba muncul saat meraih tangannya, getaran itu nyaris membuat jantung
hesty copot dan sempat membuat matanya berkaca-kaca, gugup…saking gugupnya hesty lupa
melepaskan genggaman tangannya,” lelaki ini guanteng…” ucap hesty membathin.
“Oh..ya,.. bu Bidan, saya Sekdes di sini, berhubung Pak Desa ada Rapat di
Kecamatan, beliau mengamantkan saya untuk menyambut Bu bidan, eh..ternyata ibu
dah nyampe duluan, maaf ya atas pelayanan kami yg kurang memuaskan “
“ ah… nggak apa-apa, lagian tadi aq diantar gratis oleh tukang ojek dari
pangaparang, aku anggap itu sudah bagian dari pelayanan yang memuaskan, he..he..” jawab
hesty seraya tertawa lirih, membuat gigi behelnya tampak berkilau saat diterpa
pantulan cahaya kaca jendela.
***
Pertemuan singkat dengan Pak sekdes tadi siang, ternyata membuat mata hesty
tak bisa terpejam, senyuman pria tegap berbadan kekar itu seakan akan
menari-nari di pelupuk mata hesty, “ memorynya serasa berputar surut mengingat
kenangan 2 tahun silam semasa kuliah di AKBID Bina Husada Makassar.” Eddy”
entah mengapa tersebut kembali nama itu setelah sekian tahun terpendam dan tak
ingin kuingat lagi, ah… kenapa aq harus mengingat dia yang telah menghancurkan
asaq? Dan kenapa wajah itu harus kembali kukenang hanya karena siang tadi aq
bertemu pak sekdes yg sangat mirip dengannya? oooh… tuhan aq mohon jangan kau
torehkan luka yang sama saat luka lama itu belum pulih, jangan biarkan aq
hanyut dalam cerita asmara Duka yang tak kunjung usai…” rintihan hesty tanpa sadar telah membuat bantal dikepalnya menjadi lembab, butiran air
mata yg meleleh di kedua pipinya telah membekaskan titik duka yg mendalam dari
dalam jiwanya, goncangan peristiwa masa lalu membuatnya trenyuh dan hanyut
dalam kesedihan malam itu.
#####